Saturday, November 30, 2013

Analisis Undang-Undang akuntan publik No.5 tahun 2011 dalam menghadapi era IFRS


UU ini pertama kali disahkan oleh Presiden kita Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 3 Mei 2011.   UU ini terdiri dari 62 pasal yg dibagi kedalam 16 bab yg mengatur dari hak & kewajiban, perijinan Akuntan Publik , kerja sama Akuntan Publik,"SANKSI ADMINISTRATIF". Dalam UU ini sanksi-sanksi yang diberlakukannya semakin ketat dan jelas.

Tujuan dari UU Akuntan Publik ini adalah untuk melindungi kepentingan publik, mendukung perekonomian yg sehat, efisien, dan transparansi, memelihara integritas profesi AP, meningkatkan kompetensi dan kualitas profesi AP, melindungi kepentingan profesi AP sesuai dengan standard dan kode etik profesi.

Beberapa point hal baru antara lain: terkait jasa (pasal 3), proses menjadi AP & perijinan AP (pasal 5&6), rotasi audit (pasal 4), AP asing (pasal 7), Bentuk usaha AP (pasal 12), Rekan non AP (pasal 14-16), Pihak terasosiasi (pasal 29 & 52), KPAP (komite profesi akuntan publik) (pasal 45-48), OAI (organisasi audit Indonesia) (pasal 33-34), Kewenangan APAP (asosiasi profesi akuntan publik) (pasal 43-44), Tanggung jawab KAPA/OAA (pasal 38-40), Jenis sanksi administrasi (pasal 53), dan Sanksi pidana (pasal 55-57).

Tantangan Akuntan Publik dalam Menghadapi Konvergensi IFRS dan Era Globalisasi

            Banyak sisi pandang yang dapat kita analisis saat disahkannya UU No.5 Tahun 2011 oleh Presiden SBY. Pokok bahasan yang paling sering dibicarkan saat ini secara umum untuk Negara Indonesia dan khususnya untuk Tenaga ahli Akuntan Publik di Indonesia,  adalah menghadapi Konvergensi atau adopsi standar keuangan yang baru dari PSAK menjadi IFRS.

International Accounting Standards, yang lebih dikenal sebagai International Financial Reporting Standards (IFRS), merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi berkualitas tinggi dan kerangka akuntasi berbasiskan prinsip yang meliputi penilaian profesional yang kuat dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu, dan akuntansi terkait transaksi tersebut. Dengan demikian, pengguna laporan keuangan dapat dengan mudah membandingkan informasi keuangan entitas antar negara di berbagai belahan dunia.

Dampaknya, dengan mengadopsi IFRS berarti mengadopsi bahasa pelaporan keuangan global yang akan membuat suatu perusahaan dapat dimengerti oleh pasar global. Suatu perusahaan akan memiliki daya saing yang lebih besar ketika mengadopsi IFRS dalam laporan keuangannya. Tidak mengherankan, banyak perusahaan yang telah mengadopsi IFRS mengalami kemajuan yang signifikan saat memasuki pasar modal global.

Negara kita Indonesia, konvergensi IFRS dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin daya saing nasional. Perubahan tata cara pelaporan keuangan dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), PSAK, atau lainnya ke IFRS berdampak sangat luas. IFRS akan menjadi aspek kompetensi wajib-baru bagi akuntan publik, penilai (appraiser), akuntan manajemen, regulator dan akuntan pendidik.

Setelah uraian diatas bagaimana Indonesia mengkonvergensi IFRS, mari kita lihat dari sisi lain bagaimana kondisi tenaga akuntan Indonesia dalam menghadapi perubahan PSAK menjadi IFRS.

Liberalisasi jasa akuntan se-ASEAN dalam kerangka AFTA 2015, tampaknya bukanlah masalah enteng bagi keprofesian. Persaingan ketat dengan akuntan-akuntan negara tentangga pada medan tersebut, baukanlah persoalan mudah, bila merujuk posisi kekuatan dalam peta ASEAN. Kita masih kalah dari segi jumlah. Tak sedikit pula yang menyangsikan kualitas kompetensi akuntan Indonesia bila dibandingkan dengan akuntan-akuntan dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Data Jumlah Akuntan ASEAN tahun 2010 di masing-masing negara menyebutkan, yang menjadi anggota IAI hampir 10.000. Hal ini jauh tertinggal dengan Malaysia (27.292), Filipina (21.599), Singapura (23.262), dan Thaiand (51.737). Berdasarkan data Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan jumlah akuntan publik di Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan dibandingkan dengan negara tetangga. Dengan hanya bermodal 1.000 orang akuntan publik pada tahun 2012, Indonesia tertinggal jauh dengan Malaysia (2.500 akuntan publik), Filipina (4.941 akuntan publik), danThailand (6.000 akuntan publik). Padalah Indonesia adalah negara yang besar, dengan perkembangan ekonomi yang mengesankan dan suberdaya alam melimpah, sehingga dibutuhkan banyak akuntan berkualitas untuk mengawal pembangunan ekonomi agar semakin efisien dan efektif dengan kekuatan integritas, transparansi, dan akuntabilitas.

AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau yang lebih dikenal dengan perdagangan bebas di Negara ASEAN. Event ini akan dilaksanakan tepatnya ditahun 2015. Menghadapi event ini, Tenaga akuntan Indonesia seperti yang dipaparkan diatas akan mengahdapi tantangan yang cukup berat, hal ini disebabkan karena kualitas dan kesiapan akuntan asing di negara-negara ASEAN sudah lebih memadai, sedangkan negara kita Indonesia masih harus memperbaiki dan memantapkan sektor keprofesian di tingkat nasional. Bila ditahun 2015 Indonesia masih kekurangan tenaga profesi akuntan Publik, maka bukanlah hal yang mustahil posisi ini akan diisi oleh akuntan warga negara asing.

Dalam UU No.5 Tahun 2011 juga sudah dicantumkan secara jelas bahwa profesi Akuntan Publik Asing dapat berkiprah di negara Indonesia berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan. Andai jumlah Akuntan Publik pun sudah memadai namun tidak diiringi dengan kualitas yang bersaing seperti penguasaan bahasa asing, dan standar akuntansi internasional (IFRS) maka bisa jadi Akuntan Publik dari Indonesia akan kalah bersaing dengan Akuntan Publik asing dari negara-negara ASEAN. Pangsa pasar Indonesia akan banyak dikuasai AP Asing, perusahaan-perusahaan besar akan lebih memilih AP Asing, yang jauh lebih menguasai standar akuntansi internasional dan lebih berkualitas.

Dengan melihat kondisi seperti ini, Indonesia diharapkan mampu mencetak tenaga ahli Akuntan Publik yang lebih matang dan berkualitas. Ditetapkannya UU No.5 Tahun 2011, juga mampu menambah dan melahirkan Akuntan Publik yang bertaraf Internasional, yang mampu menguasai IFRS sebagai standar pelaporan internasional.Berikut adalah link yang menjelaskan uraian UU NO.5 TAHUN 2011 mengenai AKUNTAN PUBLIK 

Wednesday, November 6, 2013

REVIEW JURNAL AUDITING

JUDUL                       : EKSPLORASI KEBUTUHAN STAKEHOLDERS
TERHADAP INFORMASI DALAM LAPORAN AUDIT
PEMERINTAH DAERAH
PENULIS                  : Joko Susilo
PENERBIT                : JAAI VOLUME 10 NO. 1
TAHUN TERBIT      : 2006

Latar Belakang
Dalam era reformasi ini, pemerintah daerah semakin dituntut untuk membangun adanya transparansi di dalam setiap kebijakannya. Dengan adanya reformasi di dalam system pemerintahan, pemerintah pusat melakukan berbagai perubahan yang antara lain berupa penerbitan Peraturan Pemerintah yakni PP 105 tahun 2000 yang mengatur tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dilanjutkan Kepmendagri 29/2002 dan KMK 308/2002 yang memberikan kemungkinan pemerintah daerah untuk menghasilkan pelaporan keuangan tambahan seperti laporan surplus defisit dan laporan perubahan ekuitas (aktiva netto), serta menerbitkan Undang-Undang No. 17 tahun 2003 yang mengatur tentang upaya nyata untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolan keuangan Negara yakni penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang diterima secara umum.
Collin et al. (1991) dalam penelitiannya mengenai akses terhadap laporan keuangan pemerintah, menemukan tidak adanya bukti bahwa pihak eksternal dapat mengakses informasi keuangan pemerintah.  Tayyib (1994) memperjelas permasalahan dengan hasil penelitiannya yang membuktikan hanya konsultan dan auditor saja yang tidak memiliki keterbatasan akses terhadap laporan keuangan pemerintah dibandingkan masyarakat sebagai pembayar pajak.
Namun, terdapat beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan laporan keuangan auditan khususnya laporan audit sektor publik yang kemudian mendorong adanya penelitian ini yakni:
1. Kompleksnya lingkungan dan tingginya pluralistik yang ada dalam system akuntansi sektor publik jelas akan mempengaruhi proses pengauditan yang dilakukan. Perhatian tentang bagaimana permasalahan akuntansi dan pengendaliannya secara khusus dipelajari dalam sektor publik menjadi isu yang tidak bisa diabaikan, meliputi sejauh mana laporan tersebut dapat tidak seragam, seberapa fleksibel pelaporan tersebut dapat dikembangkan dan bagaimana standar akuntansi dikembangkan dalam pelaporan keuangan sektor publik ini (Henley et al., 1993).
2. Seberapa banyak dan seberapa luas pengungkapan hasil audit atas laporan keuangan sektor publik dilaporkan ke stakeholders. Hal ini dikarenakan dalam sektor publik tidak cuma mengenal
audit keuangan saja, tetapi juga audit ketaatan, audit efisiensi dan ekonomi serta audit efektivitas. Sama seperti  yang ada dalam sektor swasta, penganggaran dalam sektor public adalah sebagai bagian dari control manajemen. Namun, selain sebagai dokumen yang legal, penganggaran dalam sektor publik juga merupakan dokumen umum yang tersedia untuk umum meskipun tidak semua pihak dapat mengaksesnya (IFAC, 2000).  Konsekuensinya, penganggaran dan varians yang ada dalam sektor public harus dilaporkan ke masyarakat.
3. Munculnya perdebatan adanya revisi PSA No. 62 mengenai “Audit Kepatuhan yang Diterapkan Atas Entitas Pemerintah dan Penerima Lain Bantuan Keuangan Pemerintah”. PSA No. 62 ini dikodifikasi menjadi Standar Audit Seksi 801 yang digabung bersama Standar Audit lainnya dalam Standar Profesional Akuntan Publik Per 1 Januari 2001.  Karena dinilai menimbulkan standar ganda dalam pelaksanaan audit entitas pemerintah, maka Dewan SPAP kemudian merevisi PSA No. 62 dengan Draf Publikasian PSA No. 75 yang mengatur mengenai Pertimbangan Auditor Dalam Perikatan Audit Terhadap Entitas yang Terkait dengan Keuangan Negara. Dengan dimunculkannya Draf Publikasian PSA No. 75 inilah kemudian muncul perdebatan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor pemerintah dengan Dewan SPAP (Wibowo, 2002).
4. Belum jelasnya peraturan yang mengatur secara rinci laporan keuangan auditan sektor publik. Hal ini dikarenakan UU No. 17/2003 mulai berlaku tahun 2006.  Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri, dan sampai sekarang belum selesai.
5. Belum adanya penelitian yang meneliti secara khusus kebutuhan stakeholders terhadap informasi yang tersaji dalam laporan audit atas pemerintah daerah.
Dengan adanya lima permasalahan di atas, penelitian mengenai penilaian para pengguna laporan keuangan sektor public terhadap informasi-informasi yang tersaji dalam laporan audit pemerintah daerah menjadi sangat dibutuhkan. BPK sendiri sampai saat ini belum secara resmi melaporkan hasil audit yang komprehensif berkaitan dengan kinerja pemerintah daerah.  Laporan auditor yang dipublikasi baik di media cetak maupun elektronik selain hanya berupa laporan audit keuangan juga sangat sulit untuk dijumpai. Terkait dengan lima permasalahan dan kenyataan dalam realita tersebut, penulis menilai bahwa laporan audit pemerintah daerah belum memenuhi keinginan dan kebutuhan stakeholders. Untuk itulah penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengeksplorasi apakah laporan audit pemerintah daerah sudah memenuhi kebutuhan stakeholders. Selain itu, dengan kenyataan yang ada di lapangan, penulis menilai perlu ada penelitian yang mengeksplorasi kebutuhan informasi audit apa sajakah yang dibutuhkan oleh stakeholders pemerintah daerah. Selain karena pertimbangan belum ada penelitian yang sejenis, pertimbangan lain adalah untuk memberi masukan kepada pemerintah khususnya Badan Pemeriksa Keuangan selaku auditor pemerintah mengenai informasi yang dibutuhkan dalam pelaporan hasil auditnya.

METODE PENELITIAN
Zikmunt  (1994)  menjelaska studi eksploratif dilakukan untuk mengklarifikasi masalah-masalah yang kurang jelas atau ambigu Stud eksplorati in dilakukan untuk  memperoleh  informasi  mengenai esensi masalah yang ada, sebelum dilakukan penelitian berikutnya untuk menentukan solusi dari masalah tersebut. Menurut Indriantoro dan Bambang (1999) hasil dari studi eksporatif ini akan memberi dukungan informasi berupa klarifikasi masalah untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Suatu eksplorasi secara khas dimulai dengan mencari data yang diterbitkan secara resmi (Cooper dan Emory, 1995). Suatu eksplorasi dimulai dengan mempelajari kepustakaan. Jika dirasa sudah memadai, maka tahap berikutny adalah   melakuka wawancara dan survey untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan-permasalahan  yaningin diteliti.

Populasi dan Sampel
Dala penelitia ini   variabelnya adalah persepsi. Subyek yang menjadi komunitasnya adalah stakeholders organi- sasi sektor publik di Indonesia. Kelompok stakeholders yang menjadi sampel dalam penelitian  ini  adalah  pembayar  pajak, pemilih, perbankan pemerintah daerah, per- bankan swasta, badan pengamat/LSM, per- sonel pendidik, pegawai pemerintah, partai politik, dan anggota legislatif. Hal ini sesuai dengan  penelitian  yandilakukan  oleh Collin et al. (1991).
Data dalam penelitian ini dikumpul- kan melalui dua cara. Cara pertama adalah adalah mengumpulkan data sekunder dari perpustakaan seperti telaah literatur dari berbagai buku, jurnal dan beberapa referensi lainnya. Cara kedua adalah mengumpulkan data primer yaitu data tentang kebutuhan informasi stakeholders dan pelaporan hasil audi pemerinta daera yan diperoleh melalui  kuisione yang  diberikan  kepada responden-responden dan wawancara.
Pengumpulan data kuisioner dilaku- ka dilakuka selam kurang  lebi dua bulan terhitung mulai minggu kedua bulan April sampai dengan minggu kedua bulan Juni 2004. Kuisioner dikirim dengan mendatangi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada responden-responden yang dituju dengan tujuan agar lebih efektif dan memperbesar tingkat pengembalian kuisioner.  Dari 300 kuisioner yang dikirimkan, sebanyak  272  kuisoner  (96,67%)  diterima kembali. Dari 272 kuisioner yang diterima tersebut, sebanyak 10 kuisioner tidak diisi secara lengkap sehingga tidak dapat diolah kembali. Jadi jumlah data yang bisa diolah sebesar 262 kuisioner (87,33%) dari total kuisioner. Tabel 1 menjelaskan secara rinci jumlah kuisioner dan tingkat pengem- baliannya. Komposisi responden dipisahkan sesuai dengan kelompok-kelompok secara individual, meskipun sebenarnya satu individu bisa memiliki lebih dari satu peran sebagai stakeholders. Komposisi responden menjadi stakeholders dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.



Tabel 1: Ringkasan Pengiriman dan Pengembalian Kuisioner

Total kuesioner yang dikirimkan
300
Total kuesioner yang kembali
272
Total kuesioner yang tidak kembali
28
Total kuesioner yang pengisiannya tidak lengkap
10
Persentase tingkat pengembalian
90,667%
Total kuesioner yang dapat diolah
262
Persentase tingkat pengembalian yang valid
87,33%

Tabel 2:
Komposisi Responden
Kelompok Responden
Jumlah
Prosentase
Pembayar pajak
43
16%
Pemilih
80
31%
Perbankan pemerintah daerah
9
3%
Perbankan swasta
10
4%
Badan pengamat/LSM
19
7%
Personel pendidik
22
8%
Pegawai pemerintah
30
11%
Partai politik
30
11%
Anggota legislative
19
7%
Total
262
100%

Identifikasi Variabel dan Pengukurannya
Variabel  yang diukur  dalam  peneli-
tian ini adalah persepsi stakeholders ter- hadap informasi yang tersaji dalam laporan audit pemerintah daerah. Untuk memperoleh data mengenai penilaian stakeholders digunakan daftar pertanyaan atau kuisoner. Persepsi yang diungkap melalui daftar per- tanyaan diukur dengan skala ordinal. Res- ponden diminta untuk memberikan jawaban sampai seberapa jauh ia setuju atau tidak setuju terhadap semua pertanyaan yang adaVariabel penilaian stakeholders ter- hadap laporan audit dibangun dengan peng- ukuran konstruk karakteristik kualitatif laporan audit dan luas lingkup audit dalam sektor publik (NALGA, 1999).
Karakteristik kualitatif dalam laporan audit tersebut meli- puti; independensi, penjelasan memadai, kesesuaian  dengan  PABU,  kesesuaian dengan SAP, kesesuaian dengan peraturan pemerintah, penerapan standar pengauditan, informasi salah saji material, dasar-dasar pembuatan opini, struktur pengendalian in- tern, informasi untuk pengambilan keputus- an, efisiensi program, informasi penggunaan dana publik, pengelolaan dana publik, efisiensi pengadaan sumber daya, informasi indikasi kecurangan dan kebohongan publik, efektivitas dari program-program, ketepatan dan relevansi program.
Variabel  kebutuhan  stakeholders akan informasi dalam laporan audit peme- rintah daerah dibangun dengan konstruk informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan tipe dan luas lingkup audit yang berlaku untuk pemerintah daerah seperti audit keuangan, audit kepatuhan, audit kinerja (GAO, 1994).

Pengujian Data
Penelitian terhadap permasalahan pertama adalah apakah laporan audit yang dipublikasikan oleh BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah sudah dapat memenuh kebutuha stakeholder akan informasi yang berkaitan dengan audit, di- lakukan dengan dua metode analisis statistik terhadap  data  yanterkumpul.  Kedua metode analisis statistik tersebut adalah uji rata-rata instrumen penilaian stakeholders terhadap  laporan  audit  pemerintah  daerah dan uji korelasi antara dua variabel yang diidentifikasi dalam penelitian ini.
Bagian kedua dari permasalahan penelitian ini adalah penelitian mengenai kebutuhan stakeholders akan informasi yang dibutuhkan dalam laporan audit pemerintah daerah. Untuk meneliti kebutuhan stakeholders  akan  informastersebut, peneliti menggunakan dua metode analisis statistik. Metode yang pertama adalah uji perankingan rata-rata instrumen kebutuhan stakeholders akan informasi laporan audit pemerintah daerah, dan metode yang kedua adalah uji binomial untuk menentukan berbagai informasi dan prosedur yang dianggap penting oleh stakeholders.

Analisis Data
Hasil     Pengujian     Uji     Validitas     dan
Reliabilitas
Hasil pengujian validitas menegaskan bahwa  semua  item  pernyataan  baik  yang berupa persepsi (soal 1- soal 17) maupun harapan  (soal  1   soal  27)  adalah  valid dengan tingkat keyakinan 99% atau signifikansi 1%. Karena semua item pernyataan baik dari variabel persepsi maupun dari variabel harapan valid, maka semua item tersebut dapat diikutkan dalam pengujian reliabilitas.
Untuk variabel   persepsi/penilaian
stakeholders mengenai informasi dalam laporan audit pemerintah daerah, hasil pengujian reliabilitas menunjukkan angka Cronbach Alpha sebesar 0,9083 yang lebih besar dari batas yang disebutkan Nunnaly yaitu 0,6. Jadi, dapat disimpulkan bahwa instrumen penilaian stakeholders ini bersifat reliabel.
Untuk variabel kebutuhan stake- holders terhadap informasi dalam laporan audit pemerintah daerah, hasil pengujian reliabilitas menunjukkan angka Cronbach Alpha sebesar 0,9039 yang lebih besar dari batas yang disebutkan Nunnaly yaitu 0,6. Jadi, dapat disimpulkan bahwa instrumen kebutuhan stakeholders ini bersifat reliabel.

Hasil Uji Rata-Rata Penilaian Stakeholders
Pengukuran   rata-rata   instrument variabel penilaian stakeholders terhadap informasi yang tersaji dalam laporan audit diperlukan untuk menjelaskan secara detail sejauh mana stakeholders menilai informasi- informasi tersebut



HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa publik sebagai stake- holders menilai bahwa informasi yang ada dalam laporan audit pemerintah daerah sampai saat ini belum memenuhi kebutuhan mereka  akan  informasi  hasil  audit,  baik audit keuangan, audit efisiensi dan ekonomi, dan audit kepatuhan. Terdapat sedikit infor- masi  yang  dapat  dijumpai  sehubungan dengan  kesuksesan  ataupun  kegagalan dalam aktivitas-aktivitas yang dikelola pemerintah  (Soedibyo,  2002).  Terkait dengan  sistem  audit  untuk  pemerintah daerah ini, Mardiasmo (2002) memandang perlunysuatu langkah reformasi  audit (audit reform) dalam sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Soedibyo (2002) menambahkan, dalam era reformasi ini harus ada alternatif usaha untuk men- capai akuntabilitas atau pertanggungjawaban informasi melalui pelaporan yang lebih baik. Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut  adalaagar  pengelolaan  uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan  dengamendasarkan  konsep value for money sehingga tercipta akun- tabilitas publik (Mardiasmo, 2002).
Dari pengujian di atas, penjabaran hasil penelitian ini khususnya penilaian stakeholders terhadap informasi yang tersaji dalam laporan audit pemerintah daerah akan sangat diperlukan dan tentu saja diharapkan akan menjadi satu bagian dari audit reform. Publik menilai bahwa auditor pemerintah dalam hal ini (BPK) sudah bersikap inde- penden dalam melakukan pemeriksaan terhadap  pemerintah  daerah.  UU  No.  17 tahun 2003 memberikan wewenang penuh kepada  BPK untuk  mengaudit  pengelolaan keuangan daerah. Pemberian kepercayaan kepada BPK ini menjadi bagian penting bagi terciptanya akuntabilitas publik, mengingat fungsi dan kedudukannya sebagai salah satu lembaga audit pemerintah. Di New Zealand, sejak tahun 1840 dibentuk The Office of the Auditor-General (OAG) yang dengan the Audit Act 1858 berperan untuk memberikan jaminan bagi Parlemen dan publik bahwa organisasi pemerintah telah beroperasi dan melaksanakan kinerjanya sesuai dengan keputusan Parlemen (Jacobs, 2000).
Dalam hal pelaporan hasil audit, publik menilai penjelasan yang ada dalam laporan audit belum memadai. Padahal pengauditan dalam sektor publik berarti providing information on public services to electe representative and   the   general public (Public Audit Forum, 2002). Malan et al. (1984) menjelaskan ketika menyimpul- kan pekerjaan audit dalam penugasan audit, dalam setiap kasus yang formal, laporan tertuliharus  dipublikasikan.  Soedibyo (2002) menjelaskan, sekarang ini baik parlemen (legislatif) maupun BPK selaku supreme auditor, sudah berupaya memak- simalkan masing-masing peran. Pihak legislatif mulai perhatian terhadap peng- gunaan dana publik terutama komite anggarannya, sedang BPK mencoba untuk memberikan informasi yang lebih lengkap kepada pihak legislatif berkaitan dengan penggunaan dana publik tersebut. Sayang- nya, sejauh ini laporan audit yang diterbit- kan oleh BPK tersebut tidak bisa dicermati dengan baik oleh pengguna, hal ini dikarenakan laporan-laporan tersebut tidak memenuhi kebutuhan dari publik terutama pihak legislatif (Sudibyo, 2002). Publik, khususnya pihak legislatif menggunakan laporan-laporan audit pemerintah dengan tujuan untuk mengembangkan operasional pemerintah mendatang yang lebih baik (Priono, 2003).

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI
Kesimpulan yang merupakan inti dari analisis dan pengujian data dapat dijelaskan berikut ini.
1)  Hipotesis penelitian dalam penelitian ini yakni Laporan audit atas pemerintah daerah yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum memenuhi kebutuhan stakeholders akan informasi-informasi  hasiaudibaik audit keuangan, audit kepatuhan, mau- pun audit kinerja pemerintah daerah” tidak ditolak. Sehingga penelitian ini berhasil membuktikan secara empiris bahwa laporan audit yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan belum dapat memenuhi kebutuhan stake- holders akan informasi hasil audit atas pemerintah daerah. Dari 17 instrumen variabel penilaian stakeholders terhadap informasi  dalam  laporan  audit  peme rintah  daerah,  hanya  6  (enam) instrumen penilaian yang dianggap memenuhi, inipun hanya dalam standar minimum. Keenam informasi tersebut adalah; independensi BPK, kesesuaian pelaksanaan audit dengan Standar Audit Pemerintahan, kesesuaian pelaksanaan audit dengan Standar Profesional Akuntan Publik, jaminan pernyataan opini pada laporan audit benar-benar didasarkan pada hasil pemeriksaan, pertimbangan kekuatan dan kelemahan stuktur pengendalian intern, dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan. Namun jika dikaitkan dengan hasil audit kinerja (value for money audit), stakeholders menilai informasi yang tersaji dalam laporan audit pemerintah daerah belum memberikan informasi efisiensi, ekonomi dan efektivitas pengelolaan  keuangan  pemerintah daerah yang memuaskan untuk mereka.
2)  Hasil  pengujian  data  dalam  penelitian ini juga menunjukkan beberapa jenis informasi dalam laporan audit pemerintah daerah sangat penting untuk disajikan dalam laporan audit tersebut. Dalam pengujian kedua penelitian ini, dapat  dibuktikan  bahwa  perbedaan antara instrumen yang bersifat penting dengan instrumen yang moderat bukan terjadi karena kebetulan semata tetapi terjadi  secara  signifikan.  Oleh  karena itu, dapat disimpulkan bahwa informasi yang dinilai penting oleh stakeholders untuk disajikan dalam laporan audit memang penting dan bukan menjadi penting karena suatu kebetulan yang dikarenakan sifat sampel penelitian ini.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian yang dialamidalam penelitian ini adalah:
1)   Jumlah responden yang dikelompokkan ke dalam pihak legislatif dalam pene- litian ini tidak seperti yang diharapkan (sangat terbatas jumlahnya). Hal ini dikarenakan pada saat penyebaran kuisione dan  pengumpulannya ang- gota dewan lama sedang sibuk dengan kegiatan pertanggungjawaban akhir penugasannya.
2)   Pertanyaan yang digunakan dalam kue- sioner penelitian ini tidak memper- hatikan masalah control question. Kon- se pertanyaa dibuat   hany dalam versi positif saja tanpa menggunakan alternatif  versi  negatiataupun  netral. Hal ini dikhawatirkan akan memuncul- kan jawaban yang bias dan kurang mewakili persepsi stakeholders secara menyeluruh.


Implikasi Penelitian
  Dengan   adanya      keterbatasan penelitian  di  atasmakterdapat  sejumlah isu-isu yang dapat diangkat untuk dijadikan penelitian-penelitian mendatang. Terkait dengan adanya laporan audit ini, penelitian yang dapat dilakukan berikutnya adalah menguji adanya expectation gap antara auditor pemerintah dengan stakeholders. Tema ini perlu diteliti, mengingat antara publik dengan auditor pemerintah minimal harus tercapai kesepemahaman sehingga laporan audit bisa benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bukan berarti untuk menghilangkan kesenjangan harapan yang ada, tetapi paling tidak bisa mengurangi  kesenjangan  tersebut  dalam batas minimal.
Isu lain yang dapat diangkat dalam penelitian mendatang adalah penelitian yang menguji adanya pengaruh laporan auditor independen terhadap pertanggungjawaban pemerintah daerah dan penyusunan APBD. Seperti diketahui, mulai tahun 2006, laporan keuangan pemerintah daerah harus diaudit. Temuan dan pendapat auditor harus ditindaklanjuti oleh dewan legislatif terkait dengan kebijakan politik yang mereka putuskan.

Jurnal direview oleh:
AINI NURUL SUCI