Sejak 1 Januari 2010 ini, Indonesia bersama ASEAN menapaki era
perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pertanyaannya: Apa implikasi
perdagangan bebas ASEAN-China bagi perekonomian Indonesia, khususnya
bagi industri dalam negeri, pertanian, dan usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM)?
Mengacu dokumen ACFTA, tujuan perjanjian perdagangan bebas
ASEAN-China untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan
kedua pihak dan meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui
pengurangan atau penghapusan tariff atau bea masuk. Juga untuk mencari
area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling menguntungkan serta
memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara
anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di antara kedua belah
pihak.
Sewaktu dokumen ACFTA diteken November 2002, situasi perbandingan
ekspor-impor Indonesia-China masih relatif setara. Sebab walaupun
surplus perdagangan dinikmati China, namun selisihnya tidak terlalu
besar. Dengan kata lain, Indonesia relatif bisa bersaing dengan produk
China khususnya maupun negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks itu, dari segi potensi yang ditawarkan pasar bersama
ASEAN, era perdagangan bebas ASEAN-China ini sebetulnya sangat
menjanjikan. Artinya, ada peluang bisnis luar biasa bagi negara-negara
yang terlibat di dalamnya yang sanggup memanfaatkannya. Terlebih
semilyar lebih penduduk China terus meningkat daya belinya seiring
pencapaian ekonomi mereka yang mencengangkan.
Pertanyaannya, setelah 7 tahun sejak diteken, sanggupkah kita
berkompetisi dan memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas
tersebut? Atau, jangan-jangan, justru Indonesia yang bakal menjadi
“pasar bersama” barang-barang produksi China dan negara-negara ASEAN
lainnya, yang dijual dengan harga lebih murah, dengan mutu yang setara
atau lebih baik, serta dikemas lebih cantik?
Mengkhawatirkan apabila kita menilik kinerja sektor industri, pertanian, dan UMKM
Indonesia lima tahun terakhir, era perdagangan bebas ASEAN-China jujur
saja justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan Indonesia.
Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa
dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak
sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung
tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur
terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat
–sebagai ciri negara yang industrinya makin maju— justru semakin menurun
dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah.
Sebagai ilustrasi, ekspor industri baja Indonesia ke China pada 2002
senilai 30,3 juta dollar AS dan impor 51,4 juta dollar AS. Namun tahun
lalu, defisit Indonesia semakin timpang lantaran ekspor hanya 36,9 juta
dollar AS, sedangkan impor 1.026 juta dollar AS (sumber BPS/Depperin).
Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita, seperti baja,
plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era
pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya
produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai
salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di
samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya
tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost
of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.
Kondisi sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas
ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan China dan Thailand sudah sejak
lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di
supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau
diasongkan di atas kereta ekonomi.
Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China
dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya
sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita
tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas. Bisa
dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara ASEAN
lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.
Di tengah kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih
mementingkan produk murah daripada produksi bangsa sendiri, situasi ini
jelas sangat mengkhawatirkan. Terlebih kemampuan daya beli rata-rata
rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian
yang murah akan sulit dihalau begitu saja.
Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China
diberlakukan, produk mainan anak-anak dari China, misalnya, sudah
menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum
lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat
murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi
perajin batik rumahan dalam negeri.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita masih minim persiapan, bisa dilihat bahwa perjanjian perdagangan bebas
ASEAN-China semula memang potensial membawa kemajuan bagi perekonomian
Indonesia. Akan tetapi, dengan catatan, sejak ditekennya perjanjian
hingga menjelang diberlakukannya ACFTA, pemerintah bersungguh-sungguh
mempersiapkan daya saing dan kinerja perekonomian dalam negeri agar siap
tempur di ajang perdagangan bebas tersebut.
Namun faktanya, seperti disinggung di atas, yang terjadi di dalam
negeri justru deindustrialisasi, melemahnya daya saing produk pertanian,
dan kian termarjinalisasinya UMKM. Dengan kata lain, persiapan kita
sangat minim.
Banyak faktor yang ikut berperan di sini. Antara lain, diabaikannya
sektor riil dibanding sektor finansial, tak kunjung dibenahinya
infrastruktur, reformasi birokrasi yang tak serius yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi tetap menggejala, gagalnya revitalisasi pertanian,
dan kurangnya komitmen pemerintah melakukan politik afirmasi bagi UMKM.
Lebih dari itu, barang-barang produksi negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia, dan China relatif sejenis. Yakni, masih sama-sama
mengandalkan produksi sektor pertanian dan industri padat karya seperti
tekstil dan alas kaki. Dalam kondisi ini, bisa dipastikan jika kran
pasar bebas dibuka, yang bertahan ialah negara yang sanggup memproduksi
barang dengan cara paling efisien alias murah meriah, dengan kualitas
setara bahkan lebih baik. Posisi inilah yang dimiliki China, yang bisa
menekan ongkos produksi serendah mungkin lantaran berbagai biaya faktor
produksi mereka yang lebih murah.
China bisa merebut posisi unggulan ini lantaran penguasaan mereka
atas teknologi produksi kimia dasar, sehingga bisa tiap saat memasok
bahan baku industri manufakturnya dengan harga murah, tanpa tergantung
impor. Negeri Tirai Bambu ini juga sangat serius mereformasi birokrasi
guna memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan dengan
menghukum mati para koruptornya.
Jadi, bukan lagi rendahnya upah buruh di China yang menjadi alasan
murahnya produk mereka sehingga memenangkan persaingan. Sebab, upah
rata-rata tenaga kerja di Vietnam sekarang ini pun lebih mahal daripada
upah buruh Indonesia, toh daya saing produk Vietnam mulai mengalahkan
produk Indonesia.
Walhasil, secara pukul rata, sekarang ini nyaris tak ada keunggulan
kompetitif Indonesia menyongsong era perdagangan bebas ASEAN-China.
Bahkan, keunggulan komparatif pun, terkait kekayaan sumber daya alam
yang bisa dijual misalnya, Indonesia masih harus bersaing keras dengan
negeri jiran Malaysia.
Karena itu, perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China ini
–dari segi kepentingan ekonomi Indonesia ke depan— tidak sekadar perlu
direnegosiasi pemberlakuannya, tapi layak ditinjau ulang secara
keseluruhan. Dan ini dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 14 Persetujuan
Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara
Negara-negara ASEAN dan China. Sebab jelas sekali posisi Indonesia
cenderung sangat tidak diuntungkan, setidaknya hingga 20 tahun
mendatang.
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dengan negara
lain, idealnya ditempuh dengan negara-negara yang tak memiliki produksi
barang dan jasa yang relatif sama dengan Indonesia. Sehingga rezim
perdagangan bebas tidak akan memukul sektor industri manufaktur, sektor
pertanian, maupun UMKM dalam negeri. Sebaliknya kita justru akan
memiliki keunggulan komparatif terhadap negara mitra.
Dalam konteks inilah, Indonesia mestinya mengadakan perdagangan bebas
dengan negara-negara yang perekonomiannya telah memasuki tahap industri
lanjut (pasca-industry), bukan negara-negara sedang berkembang. Mereka
relatif tidak lagi mengandalkan sektor pertanian atau manufaktur,
melainkan sudah beralih kepada industri berteknologi tinggi seperti
komputer dan peranti lunak komputer
sumber : http://ariabima.com/2012/06/11/plus-minus-perdagangan-bebas-asean-china-3/
No comments:
Post a Comment